Beranda | Artikel
Serial Fikih Muamalah (Bag. 4): 9 Aturan Penting dalam Berinvestasi
Senin, 11 Juli 2022

Baca pembahasan sebelumnya Serial Fikih Muamalah (Bag. 3): Sumber Harta dan Ajakan untuk Menginvestasikannya

Pada pembahasan sebelumnya, telah kita ketahui bahwa agama Islam telah mengajarkan dan membimbing umatnya agar cerdas di dalam mengatur keuangan dan harta, serta mengajak mereka untuk menabung dan berinvestasi. Hanya saja, pastinya ada beberapa aturan dan beberapa hal penting yang harus diketahui seorang muslim saat menginvestasikan hartanya.

Pertama: Hendaknya mempelajari terlebih dahulu hukum-hukum syar’i yang berkaitan dengan investasi

Saat seorang muslim ingin mengembangkan dan menginvestasikan hartanya, tentu saja ia perlu untuk mempelajari hukum-hukum syar’i yang berhubungan dengan investasi, baik itu dalam bentuk perdagangan, produksi, pertanian, ataupun kerajinan tangan. Sehingga ia terhindar dari segala bentuk investasi yang diharamkan dan investasi yang mengandung syubhat (masih abu-abu hukumnya). Misalnya, mereka yang terjun langsung ke dalam dunia perdagangan, maka wajib mempelajari hukum jual beli, hukum utang piutang, hukum sewa menyewa, mempelajari juga apa-apa yang dapat merusak sebuah transaksi, baik itu riba, judi, rekayasa ataupun kedustaan dan janji palsu. Ada sebuah ungkapan,

ويل للتاجر من بلى والله ولا والله وويل للصانع من عدو بعد غد

“Celakalah seorang pedagang yang mengatakan, ‘Iya, demi Allah’ dan ‘Tidak, demi Allah.’ Dan celakalah seorang pekerja yang selalu mengatakan, ‘Besok dan besok’.”

Bahkan, khalifah kedua, Umar Bin Khattab radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

لا يبعْ في سوقِنا إلا من تفقَّه في الدينِ

“Tidak boleh berniaga di pasar kami ini, kecuali mereka yang telah mempelajari terlebih dahulu hukum-hukum agama.” (HR. Tirmidzi no. 487)

Kedua: Berinvestasi secara profesional dan tidak asal-asalan

Islam mengajak manusia untuk berpikir dan menggunakan akal di dalam mengelola sumber daya yang ada, memanfaatkan dan memaksimalkan sumber daya manusia, sumber energi, hewan, dan hasil tambang dengan cerdas dan cermat. Allah Ta’ala berfirman,

وَسَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا مِّنْهُ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

“Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sungguh, dalam hal yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mau berpikir.” (QS. Al-Jasiyah: 13)

Di ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنزَلْنَا ٱلْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ

“Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu).” (QS. Al-Hadid: 25)

Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa investasi yang selamat dan bijak adalah yang berdiri di atas asas pemikiran, ilmu, dan pemanfaatan akal sehat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengatakan,

إنَّ اللهَ تعالى يُحِبُّ إذا عمِلَ أحدُكمْ عملًا أنْ يُتقِنَهُ

“Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, ia mengerjakannya secara profesional”. (HR. Thabrani no. 275 dan As-Suyuti no. 1855, dihasankan oleh Syekh Albani dalam Shahih Al-Jaami’)

Baca Juga: Bagaimana Bermuamalah Dengan Orang-Orang Yang Menyimpang?

Ketiga: Menjaga kewajiban dan ketaatannya kepada Allah

Tidak mendahulukan investasi dan mencari harta dari ketaatan dan menjalankan kewajiban kepada Allah Ta’ala. Tidak terburu-buru di dalam beramal hingga mengurangi kesempurnaannya hanya karena ia terlalu bersemangat ingin bekerja kembali. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jumat, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

إذا تبايعتُم بالعِينةِ وأخذتم أذنابَ البقرِ ، ورضيتُم بالزرعِ ، وتركتمُ الجهادَ ، سلَّطَ اللهُ عليكم ذُلًّا لا ينزعُه حتى ترجعوا إلى دِينِكم

“Jika kalian berdagang dengan sistem riba, kalian rida dengan peternakan, kalian rida dengan pertanian, dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah timpakan kepada kalian kehinaan yang tidak akan dicabut sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud no. 3462 dan Al-Bazzar no. 5887)

Keempat: Berusaha jujur dan amanah

Menjauhi dusta, curang, dan berkhianat. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

البَيِّعانِ بالخِيارِ ما لَمْ يَتَفَرَّقا، فإنْ صَدَقا وبَيَّنا بُورِكَ لهما في بَيْعِهِما، وإنْ كَذَبا وكَتَما مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِما

“Penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila keduanya berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan pada transaksi mereka berdua.” (HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532)

Kedustaan terburuk adalah yang menyertakan sumpah atas nama Allah Ta’ala. Di masa sekarang, banyak sekali pedagang dan pengusaha yang berinovasi dan menciptakan ide-ide baru untuk melariskan dagangan mereka, yang mana ide tersebut lebih memikat dan lebih ampuh dari hanya bersumpah.

Spanduk-spanduk, flyer, poster, serta iklan-iklan di media sosial, mayoritasnya menipu konsumen dengan deskripsi yang indah dan gaya yang menarik. Terkadang dengan tulisan dan kata yang indah, terkadang juga dengan backsound audio dan ilustrasi, serta penggambaran yang berlebihan. Pada akhirnya, yang merugi dan tertipu adalah konsumen. Iklan-iklan tersebut membangkitkan nafsu konsumtif mereka dan membuat mereka membeli barang yang tidak dibutuhkan.

Yang lebih parah lagi, iklan-iklan tersebut membujuk dan merayu kita untuk membeli barang yang kita tidak mampu membayarnya! Sehingga seorang konsumen dibujuk untuk menggunakan sistem kredit dan cicilan, dengan berbagai macam istilah yang digunakan, seperti cicilan, angsuran, atau yang sedang ngetren digunakan ‘paylater’, dan berbagai macam bentuk transaksi yang pada akhirnya membuat seorang konsumen menyesal dan terbebani utang.

Ada sebuah ungkapan yang menggambarkan bagaimanakah karakteristik seorang pedagang yang benar dan saleh,

“Sesungguhnya mereka itu ketika berjualan tidak pernah menipu dengan ucapan yang indah dan ketika membeli tidak pernah mencemooh.”

Baca Juga: Syubhat Maulid Nabi: “Ini Hanya Sekedar Muamalah Bukan Ibadah”

Kelima: Tidak curang dalam takaran

Allah Ta’ala mengancam mereka yang curang dalam takaran. Dan hal ini merupakan penyebab hancurnya umat-umat terdahulu. Allah Ta’ala berfirman,

وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِيْنَۙ  الَّذِيْنَ اِذَا اكْتَالُوْا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُوْنَۖ  وَاِذَا كَالُوْهُمْ اَوْ وَّزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَۗ

“Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dicukupkan. Dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi.” (QS. Al-Muthaffifin: 1-3)

Keenam: Menjauhkan diri dari transaksi yang haram

Baik itu riba, praktik judi, ataupun menimbun barang dagangan. Karena semuanya itu sebab kehancuran dan kerusakan. Bahkan, transaksi-transaksi tersebut juga menghilangkan keberkahan di dalam harta.

Ketujuh: Menunaikan kewajiban yang ada pada hartanya, baik Itu zakat ataupun selainnya

Kedelapan: Memperhatikan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam bertransaksi, serta memperhatikan persyaratan dan Undang-Undang yang berlaku di dalamnya

Kesembilan: Memprioritaskan dan mengarahkan pengembangan serta investasi hartanya pada komoditas yang dibutuhkan oleh masyarakat

Melihat kebutuhan masyarakat, berusaha memenuhinya dengan mengembangkan usaha yang sejalan dengannya. Semua itu akan mengantarkan kepada keseimbangan dan stabilitas ekonomi pada sebuah masyarakat. Tidak hanya terfokus pada satu komoditas lalu meninggalkan dan mengacuhkan yang lainnya.

Islam sedari dulu sudah mengajak umatnya untuk menginvestasikan dan mengembangkan hartanya pada semua sektor dan komoditas. Pada sektor pertanian, Allah Ta’ala berfirman,

هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً لَّكُمْ مِّنْهُ شَرَابٌ وَّمِنْهُ شَجَرٌ فِيْهِ تُسِيْمُوْنَ  يُنْۢبِتُ لَكُمْ بِهِ الزَّرْعَ وَالزَّيْتُوْنَ وَالنَّخِيْلَ وَالْاَعْنَابَ وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرٰتِۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

“Dialah yang telah menurunkan air (hujan) dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuhan yang padanya kamu menggembalakan ternakmu. Dengan (air hujan) itu Dia menumbuhkan untuk kamu tanam-tanaman, zaitun, kurma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir.” (QS. An-Nahl: 10-11)

Pada sektor kelautan, Allah Ta’ala berfirman,

وَهُوَ الَّذِيْ سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوْا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا وَّتَسْتَخْرِجُوْا مِنْهُ حِلْيَةً تَلْبَسُوْنَهَاۚ وَتَرَى الْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيْهِ وَلِتَبْتَغُوْا مِنْ فَضْلِهٖ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

“Dan Dialah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daging yang segar (ikan) darinya, dan (dari lautan itu) kamu mengeluarkan perhiasan yang kamu pakai. Kamu (juga) melihat perahu berlayar padanya, dan agar kamu mencari sebagian karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 14)

Pada sektor pertambangan, Allah Ta’ala berfirman,

اٰتُوْنِيْ زُبَرَ الْحَدِيْدِۗ حَتّٰىٓ اِذَا سَاوٰى بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ قَالَ انْفُخُوْا ۗحَتّٰىٓ اِذَا جَعَلَهٗ نَارًاۙ قَالَ اٰتُوْنِيْٓ اُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا ۗ  فَمَا اسْطَاعُوْٓا اَنْ يَّظْهَرُوْهُ وَمَا اسْتَطَاعُوْا لَهٗ نَقْبًا

“Berilah aku potongan-potongan besi!” Hingga ketika (potongan) besi itu telah (terpasang) sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, dia (Zulkarnain) berkata, “Tiuplah (api itu)!” Ketika (besi) itu sudah menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata, “Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atasnya (besi panas itu).” Maka mereka (Yakjuj dan Makjuj) tidak dapat mendakinya dan tidak dapat (pula) melubanginya. (QS. Al-Kahfi: 96-97)

Wallahu A’lam Bisshowaab.

[Bersambung]

Baca Juga:

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.


Artikel asli: https://muslim.or.id/76717-serial-fikih-muamalah-bag-4.html